Please use this identifier to cite or link to this item:
https://ptsldigital.ukm.my/jspui/handle/123456789/393560
Title: | Upah dan produktivitas antarindustri di Indonesia |
Authors: | Bambang Sctiaji Sudarsono |
Conference Name: | International Seminar [on] Empowering Economy & Business in Free Trade Era |
Keywords: | Produktiviti -- Buruh Industri -- Indonesia |
Conference Date: | 13/12/2005 |
Conference Location: | Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Surakarta |
Abstract: | Riset ini merupakan usaha merekayasa upah minimum (UM) yan~ bergerak antarindustri yang dikenal dengan Upah Minimum Sektoral yang lebih luas dan berdasar kondisi empirik. Penerimaan pekerja riel menurun selama krisis ekonomi dan buruh berusaha untuk menaikkan upah dari tahun ke tahun yang sebenamya hanya mengejar inflasi. Bagian buruh dari nilai tambah tetap stagnan sekitar 18 persen, sementara nilai tambah riel menurun sepanjang krisis dan baru membaik tahun-tahun berikutnya. Perbaikan nominal upah memiliki impak atau kaitan dengan produktivitas yang keeil. Idea variasi upah mestinya mewadahi baik industri yang berproduktivitas rendah untuk ikut berpartisipasi maupun industri yang memiliki surplus berlebih atau penerimaan super normal. Bagaimanapun terlihat betapa sulitnya meningkatkan penghasilan kelompok bawah yang merupakan mayoritas rakyat, untuk itu intervensi pemerintah diharapkan bukan saja atas upah minimum, tetapi juga kebijakanumum yang bertujuan mengerem kehidupan glamour dan konsumtif. Kata kunci: upah, produktivitas, buruh, nilai tambah, antarindustri A. LATAR BELAKANG Upah miminum (UM) menjadi pro dan kontra para ekonom karena upab tersebut yang logikanya ditentukan di atas harga pasar, akan mendorong pengusaha mengurangi penggunaan tenaga kerja, bahkan menghambat masuknya (entry) suatu perusahaan pada suatu industri (SMERU, 2001, Kuncoro, tt; GheUab, 1998). Sayang, sejak reformasi sosial dibarengi dengan era otonomi daerah, upah tidak lagi divariasi berdasar sektor tetapi diserahkan kepada daerah, menjadi upah minimum kota (UMK). Upab minimum tidak lagi dikaitkan dengan produktivitas atau yang disederhanakan berdasar karakteristik industri, tetapi didasarkan kepada batas-batas daerab yang bersifat administratif. Daerah itu sendiri 'memang mencerminkan perbedaan kemajuan ekonomi, akan tetapi di daerah yang miskin rnasih mungkin ditemukan industri yang maju dan memiliki laba tinggi, sebaliknya di daerab yang lebih kaya masih ditemukan banyak industri tradisional yang terbelakang dan memiliki kemampuan laba yang rendah. Demokratisasi dan desentralisasi penetapan upab mimnimum, misalnya terbukti dengan kebijakan pengupahan yang bertujuan memperbaiki posisi buruh. Perlu dipertanyakan sejauh mana sebenamya bubungan antara upah dan produktivitas di berbagai wilayab. Produktivitas rnemiliki beragam senyawa elemen pencipta yang kompleks rnulai dari kondisi ketenagakerjaan, kapital yang digunakan, jenis pemilihan atau investasi kapital, dan sebagainya. Dalam bidang SDM misalnya mengikuti teori upah efisiensi, upah dipandang sebagai alat meningkatkan produktifitas (Leibenstein, 1963; Akerlof, 1988; Blanflower, 1996). Rendahnya kondisi ketenagakerjaan di Indonesia, secara intemasional sepadan dengan produktivitasnya. Dibanding dengan negara-negara tetangga yang memiliki iklim dan tipe masyarakat yang hampir semisal di' Asia, Indonesia menempati tingkat produktifitas yang rendah, sebagaimana terlihat pada tabel I. |
Pages: | 11 |
Call Number: | HD2341.I556 2005 sem. |
Publisher: | Universitas Muhammadiyah Surakarta,Surakarta, Indonesia |
Appears in Collections: | Seminar Papers/ Proceedings / Kertas Kerja Seminar/ Prosiding |
Files in This Item:
There are no files associated with this item.
Items in DSpace are protected by copyright, with all rights reserved, unless otherwise indicated.